Pagi-pagi
buta saat matahari belum menampakkan wajahnya dan embun masih membasahi
dedaunan. Jam 05.00 setelah sholat subuh aku mulai melangkahkan kaki menyusuri
jalan dengan bekal air dan buku
digenggaman.
Hanya siulan burung yang kadang menemaniku menyusuri jalan sunyi yang dipenuhi pepohonan rimbun.
Hanya siulan burung yang kadang menemaniku menyusuri jalan sunyi yang dipenuhi pepohonan rimbun.
Saat itu
kendaraan masih sangat terbatas didesaku. Jarak sekolah yang hingga 10 km
ditempuh dengan jalan kaki tanpa sepatu.
Sepatu hanya
satu kali diganti setiap jenjang pendidikan. SD satu kali, SMP satu kali dan
SMA pun satu kali. Tak heran jika sepatun itu sudah sobek karena digunakan
sampai beberapa tahun. Tapi walaupun sobek tetap saja dipakai karena tidak
punya uang untuk membeli sepatu baru. Semua bagian sepatu sudah penuh jahitan
karena disol berkali-kali.
Setiap naik
kelas otomatis ukuran tubuh bertambah besar, sepatu itu tidak layak digunakan
lagi karena tidak muat. Sekolah yang mewajibkan siswa mengenakan sepatu
membuatku harus terus memakainnya meski bagian tumit sudah keluar. Aku
memakainya saat berada dilingkungan sekolah saja agar tidak mendapat hukuman.
Saat pulang aku hanya menenteng sepatu berharga satu-satunya yang aku miliki
selama 6 tahun itu.
Pulang
sekolah merupakan tantangan bagiku. Perjalanan yang menguras tenaga, membuat
keringat bercucuran diwajah, terik matahari, rasa lapar, dan lelah sudah
menjadi sesuatu yang biasa setiap hari. Demi ilmu semua itu tak bisa
menyurutkan langkah untuk tetap berjuang.
*****
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Tiba saatnya aku
menginjakkan kaki dibangu SMA. Aku melanjutkan SMA ku dikota LUWUK. Ku kemas
semua barang-barang yang akan kubawa. Mataku tertujuh pada sepatu tua itu. Sepatu
yang akan kupakai lagi disekolah baru. Uang hanya cukup untuk ransportasi dan
pendaftaran. Niat mebeli sepatu kutunda dulu. Insya Allah pasti akan ku beli
jika ada rezeki.
Aku diterima
di SPG dengan bebas tes. Waktu berjalan baru 1 semester aku mendapat ujian yang
membuatku hampir saja putus asa. Ayah meninggal dunia sehingga tak ada lagi
yang membiayai sekolahku.
Berjuang itu
tidak boleh setengah-setegah harus sampai pada hasil yang ditujuh. Mimpi, mimpi
dan mimpi yang membuatku tegar menyikapi keadaan saat itu. “Allah tidak memberiku ujian yang tak sanggup aku selesaikan. Aku tak
mau putus sekolah, aku harus berhasil, aku harus jadi orang yang bisa
membanggakan keluarga apalagi sekarang ayah telah tiada” besitku dalam hati.
Dengan modal
nekat aku tetap melanjutkan sekolahku. Aku tak mengharap lagi kiriman uang dari
ibu karena aku tau ibu hanya seorang ibu rumah tangga biasa.
Sepatu
adalah barang yang ingin sekali ku beli sejak lulus SMP. Tapi hingga masuk SPG aku
tak bisa mewujudkan itu. Apalagi papa sudah meninggal, harapan membeli sepatu
baru hanya bisa ku pendam.
Pekerjaan
demi pekerjaan ku cari. Mulai dari kerja bangunan sepulang sekolah dan kerja
apa saja yang penting halal. Semua aku kerjakan dengan ikhlas agar bisa memenuhi
kebutuhan sehari-hari, membayar uang sekolah, dan ditabung untuk membeli
sepatu.
Menuntut
ilmu dikota orang memang butuh kesabaran. Kondisi keluarga dikampung yang serba
kekurangan membuatku tetap mengerti. Dengan kerja keras selama ini akhirnya aku
bisa membeli sepatu baru. Sepatu paling bagus yang aku punya selama ini dan
kuperoleh dari tetesan keringat sendiri.
Tak jarang
aku menangis dalam setiap sujudku. Mengingat semua yang telah aku lewati. Ya
Allah yang Maha Bijaksana semoga perjuangan ini tidak sia-sia.
Inna ma’al
usri yusra(n).
Sesunguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” [QS. Al-Insyirah 94 : 6].
Ayat itu
selalu terngiang saat putus asa mulai menyergap. Janji Allah tidak pernah
diingkari. Akan ada hikmah dibalik semua ini. Kesuksesan menunggu didepan. Ini
adalah proses untuk meraih itu.
“Itulah namanya menuntut ilmu, dibutuhkan kesabaran dan
kesungguhan. Apapun rintangan yang ada, jika kita punya mimpi yang kuat kita
akan dengan mudah melewati rintangan itu. Yang penting setelah usaha jangan
lupa untuk berdoa dan besyukur” ucap papa berpesan diakhir ceritanya.
Mataku
berkaca-kaca mendengar kisah papa. Betapa enaknya pendidikan yang aku tempuh
sekarang. Sepatu tiap naik kelas beli baru, kesekolah naik kendaraan yang
nyaman, uang jajan berkecukupan, bahkan aku tidak perlu susah-susah bekerja
karena mama papa telah menyediakannya. Semua yang aku butuhkan bisa terpenuhi
dengan mudah. Bagaimana mungkin aku harus bermalas-malasan. Seharusnya aku
bersyukur karena Allah member rezeki yang cukup untuk membiayai pendidikanku.
Cerita papa
semakin melucuti semangatku. Aku ingin terus dan terus berprestasi,
mempersembahkan yang terbaik semampuku. “Aku
harus berhasil seperti papa” ucapku penuh keyakinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar