Rabu, 16 Januari 2013

KU LEPAS KEPERGIANMU DENGAN AIR MATA


“Allahuakbar Allahuakbar Lailahaillalla walillahilham”.
Gema suara takbir berkumandang diseluruh penjuru bumi Allah. Tak terkecuali di sekeliling rumah sakit.
Aku berdiri didepan pintu. Pandanganku menyapu seluruh sudut rumah sakit itu. Lorong-lorong dan beberapa kamar lain sepi karena sebagian pasien izin rawat jalan untuk lebaran bersama keluarga. Diruangan hanya tersisa aku, ibu mertua, anakku Rangga dan Istriku. Petugas rumah sakit yang juga sedang sibuk merayakan idul fitri membuat suasana rumah sakit ini mengundang kabut dihatiku. Tahun ini untuk pertama kalinya kami tidak merayakan idul fitri dengan keluarga besar.

Sudah 3 minggu istriku dirawat dirumah sakit ini tapi tidak ada perubahan berarti yang terlihat pada dirinya. Sebelumnya dia sudah dirawat di RSUD LUWUK, tapi karena penyakitnya terlampau parah sehingga pihak rumah sakit memberikan surat rujukan untuk membawanya ke RS Wahidin Sudirohusodo Makassar.

“Papa, aku mau pulang, aku mau pulang” Rangga merengek dan membuat lamunanku buyar. Anak itu, anak kami satu-satunya. Sekarang dia terlihat kurus karena selama ibunya sakit dia jarang terurus. Aku menggendongnya “Rangga nggak boleh nangis, nanti kalau mama udah sembuh baru kita pulang yah.” bujukku agar dia tenang. Ya, aku paham, mungkin dia merasa kesepian dan tidak punya teman bermain dirumah sakit.

Kulangkahkan kaki menuju ranjang istriku, ku belai rambutnya “bunda udah enakan..?” tanyaku. Dengan senyum khasnya dia menjawab “bunda baik-baik saja kok ayah, nggak usah terlalu cemas”. Setiap aku bertanya inilah yang selalu dia lontarkan. Beginilah sifat istriku, dia tidak suka menyusahkan orang lain. “Aku tau bunda, kau pasti kesakitan, kenapa bunda harus menyembunyikannya kepada ayah”. Lirihku dalam hati. Ingin rasanya aku menangis tapi aku tidak bisa menangis didepan istriku. Aku tak mau menambah beban pikirannya.

Hari-hari kami lalui bersama dirumah sakit. Aku selalu berusaha menahan tangis melihat kondisi istriku, mertuaku selalu terlihat semangat untuk mengurus rangga dan juga keperluan istriku walau sebenarnya dia tak pernah tidur dan istriku selalu tersenyum dan berusaha terlihat baik-baik saja untuk menutupi nyeri yang terasa disetiap rongga tubuhya.

Tumor payudara yang menyerang istriku semakin hari semakin parah. Belum lagi kondisinya yang sedang hamil besar. Badannya bengkak membuatnya kesusahan untuk bangun. Menggerakkan badan saja sangat susah. Istriku seperti orang lumpuh. Ya Allah kuatkan kami mengarungi cobaanmu.
*****
Pagi ini aku menemani istriku USG. Hasil pemeriksaan itu dokter mengatakan bayi didalam kandungnanya adalah bayi perempuan. Aku sangat gembira, apalagi kata dokter hari jumat nanti kandungan istriku akan segera dioperasi karena usia kehamilannya sudah hampir 9 bulan. Istriku harus disesar karena kondisinya tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal.

Setelah kembali keruangan aku duduk disamping ranjang istriku sambil memberinya minum. Dia terlihat senang hari ini dan aku pun ikut senang melihatnya. “Nanti kalau bunda sembuh kita jalan-jalan ya ayah”. Ucap istriku sambil tersenyum, seolah-olah dia akan tetap baik-baik saja. Lalu aku memandangnya “iya bunda nanti kita jalan-jalan, yang penting bunda sembuh dulu” jawabku memberi semangat. Semoga saja ujian ini cepat berakhir. Aku tak tega melihat istriku terlalu lama seperti itu.
*****
Hari ini jumat 8 september 2011 istriku akan dioperasi. Sebelumnya kata dokter kandungannya akan segera dioperasi tapi karena dia sering sesak nafas yang diakibatkan oleh penimbunan cairan diparu-parunya sehingga dokter memustuskan untuk melakukan penyedotan cairan terlebih dahulu karena dikhawatirkan akan menggangu jalannya operasi.

Aku menandatangani surat persetujuan operasi dengan harapan istriku akan tetap baik-baik saja. Ya, dia akan tetap baik-baik saja. Ku coba yakinkan diriku. Aku mengantarnya keruang operasi bersama ipar dan keponakanku. Ku bisikkan kata-kata ketelinganya “bunda harus kuat, bunda akan baik-baik saja”.
“Maaf bapak hanya bisa sampai disini” Ucap dokter sambil menutup pintu, kamipun harus terpisah di pintu ruangan itu.

Detik, menit, berganti jam. Aku menunggu dengan hati yang tak menentu. Ku coba tenangkan hatiku dengan berdzikir dan berdoa untuk keselamatan istriku.
Aku tak bisa duduk dengan tenang. Selama operasi berlangsug aku terus mondar-mandir di depan ruang operasi. Iparku memcoba menenagkanku. “Tenanglah Dika, Dian akan baik-baik saja. Kita sama-sama mendoakan semoga dia bisa melewatinya dengan baik”.
*****
“Maaf, dimana suami nyonya Dian..?” terdengar suara perawat dari arah ruang opersi itu, aku segera menghampiri perawat itu untuk menanyakan keadaan istriku.
“saya suaminya sus..!! Bagaimana keadaan istri saya..? Dia baik-baik saja kan sus..?” Tanyaku penasaran pada suster.
“Operasinya berhasil tapi istri bapak belum sadarkan diri. Kondisinya kritis sebaiknya langsung dibawa keruang ICU pak” jawab suster.
Ku langkahkan kaki melihat wajah istriku dari kaca-kaca pintu. Kondisinya sangat kritis, nafasnya hanya sesekali dia hirup lalu dia hembuskan dengan bantuan oksigen yang menempel diwajahnya. Seorang dokter muda berada disampingnya berusaha menyadarkannya. Tapi matanya belum juga terbuka. Tiba-tiba air mengalir dari sudut-sudut matanya. Betapa sakit yang ia rasakan bahkan dalam keadaan tidak sadar ia menangis. Andaikan aku saja yang bebaring disitu dan bukanlah istriku. . Aku bisa merasakan betapa sakit yang ia rasakan. Ya Allah kasihanilah istriku. Kuatkan dia melawan penyakitnya.
“bertahanlah bunda, berjuanglah, demi Rangga, demi anak yang ada dalam kandunganmu, demi aku, demi kebahagiaan kita” . Hanya itu yang mampu terucap dari bibirku.
*****
Istriku segera dibawa ke ruang ICU yang berada dilantai 1. Ruang operasi yang terletak dilantai 4 mengharuskan kami menaiki lift. Lift turun hingga kelantai satu. Saat lift sampai di lantai 1 tiba-tiba lampu mati, liftpun terkunci. Ruangan itu sangat gelap tanpa setitik cahaya. Aku panik, Ya Allah pertanda apa ini..? Suster segera menelpon petugas rumah sakit. Ku genggam tangan istriku “sabar bunda, bertahanlah”. Keponakanku hanya bisa menerangi wajah istriku dengan lampu handpone.

5 menit kemudian tiba-tiba lampu menyalah dan dengan spontan pintu lift terbuka. Kami segera keluar dan dengan cepat mendorong ranjang istriku memasuki ruang ICU. Setibanya diruang ICU beberapa perawat dan dokter langsung mengganti oksigen, memansang perekam jantung dan memeriksa keadaan istriku. Kulihat monitor EKG, denyut jantung istriku semakin lemah. Nafasnya tidak beraturan.

Mertuaku datang menggendong Rangga dengan air yang sudah menggenang. Segera kuambil Rangga. Mertuaku memengang tangan istriku, anak kesayangannya. Dia menatap istriku seakan tak ingin melepaskan pandangannya.
Sementara aku hanya diam mematung. Ku tatap wajah istriku dalam-dalam. Terasa detik-detik berjalan seakan membelenggu nafasku. Mataku bergantian memandang istriku, Rangga, dan monitor EKG. Air mata tak bisa ku tahan lagi melihat kondisi istriku yang semakin melemah.

Tiba-tiba garis dilayar EKG menjadi lurus, nafas istriku terhenti, tubunya kaku dengan mata yang tidak terbuka lagi. Dihembusan nafas terakhirnya dia menteskan air mata. Mertuaku menangis histeris.
Seketika aku seakan kehilangan tenaga, langit seperti runtuh, kakiku tak mampu lagi menopang tubuh ini untuk tegak berdiri. Ku temukan diriku menangis terseduh-seduh.

Ku pandang wajah Rangga yang menatap bundanya dan heran melihat kami menangis. Air mata ku semakin deras memikiran Rangga akan hidup tanpa seorang ibu. Anak sekecil itu harus kehilangan ibunya. Rangga terus memandang wajah bundanya, mungkin dia mengira bundanya sedang tidur.

Aku terdiam, seakan tak percaya istriku telah di panggil oleh Allah SWT. Ingin rasanya ku ulang semua saat-saat bahagia kami menyambut anak kedua yang akan segera hadir menjadi adik Rangga. Kini kebahagiaan itu berakhir dengan kepergiannya tanpa sepatah katapun, bahkan operasi kelahiran anak kedua kami belum sempat dilakukakan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya ikhlas yang membuatku bisa menenagkan hati.
 “Innalillahi Wainnailaihi rojiun”. Semua adalah milik Allah dan hanya kepada Allah kita dikembalikan. Memang tak ada yang tau ajal itu kapan datangnya. Itu adalah rahasia Allah. Bisa saja saat kita tidur, berjalan, atau dalam keadaan apapun.
*****
Setelah semua administrasi ku selesaikan, jasad istriku dimandikan dan dikafani. Kami berangkat menuju kampung halaman. Aku ingin istriku dimakamkan disana. Agar aku sering-sering menjenguknya.
 “Istirahatlah dengan tenang bunda. Aku percaya Allah telah menyiapkan Syurga untukmu. Wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid, ia akan ditarik oleh anaknya dengan tali pusarnya ke dalam surga. Aku berjanji akan merawat Rangga dengan baik seperti bunda merawatnya. Aku akan berusaha menenangkannya saat dia rindu dan memanggil-manggiil bunda. Bunda tidak akan kesepiankan, karena bayi kita bersama bunda. Aku bangga beristrikan engkau. Yang tak pernah mengeluh dan selalu menerimaku apa adanya. Maafkan aku karena belum menjadi suami yang sempurna.”

Ku iringi langkah istriku hingga ke peristirahatan terakhir. Ku kecup indah senyumnya menuju singgasana. Walau kau telah tiada, kau akan tetap hidup dihatiku selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme