“Allahuakbar
Allahuakbar Lailahaillalla walillahilham”.
Gema
suara takbir berkumandang diseluruh penjuru bumi Allah. Tak terkecuali di
sekeliling rumah sakit.
Aku
berdiri didepan pintu. Pandanganku menyapu seluruh sudut rumah sakit itu.
Lorong-lorong dan beberapa kamar lain sepi karena sebagian pasien izin rawat
jalan untuk lebaran bersama keluarga. Diruangan hanya tersisa aku, ibu mertua,
anakku Rangga dan Istriku. Petugas rumah sakit yang juga sedang sibuk merayakan
idul fitri membuat suasana rumah sakit ini mengundang kabut dihatiku. Tahun ini
untuk pertama kalinya kami tidak merayakan idul fitri dengan keluarga besar.
Sudah
3 minggu istriku dirawat dirumah sakit ini tapi tidak ada perubahan berarti
yang terlihat pada dirinya. Sebelumnya dia sudah dirawat di RSUD LUWUK, tapi
karena penyakitnya terlampau parah sehingga pihak rumah sakit memberikan surat
rujukan untuk membawanya ke RS Wahidin Sudirohusodo Makassar.
“Papa,
aku mau pulang, aku mau pulang” Rangga merengek dan membuat lamunanku buyar.
Anak itu, anak kami satu-satunya. Sekarang dia terlihat kurus karena selama
ibunya sakit dia jarang terurus. Aku menggendongnya “Rangga nggak boleh nangis,
nanti kalau mama udah sembuh baru kita pulang yah.” bujukku agar dia tenang.
Ya, aku paham, mungkin dia merasa kesepian dan tidak punya teman bermain
dirumah sakit.
Kulangkahkan
kaki menuju ranjang istriku, ku belai rambutnya “bunda udah enakan..?” tanyaku.
Dengan senyum khasnya dia menjawab “bunda baik-baik saja kok ayah, nggak usah
terlalu cemas”. Setiap aku bertanya inilah yang selalu dia lontarkan. Beginilah
sifat istriku, dia tidak suka menyusahkan orang lain. “Aku tau bunda, kau pasti
kesakitan, kenapa bunda harus menyembunyikannya kepada ayah”. Lirihku dalam
hati. Ingin rasanya aku menangis tapi aku tidak bisa menangis didepan istriku.
Aku tak mau menambah beban pikirannya.
Hari-hari
kami lalui bersama dirumah sakit. Aku selalu berusaha menahan tangis melihat
kondisi istriku, mertuaku selalu terlihat semangat untuk mengurus rangga dan
juga keperluan istriku walau sebenarnya dia tak pernah tidur dan istriku selalu
tersenyum dan berusaha terlihat baik-baik saja untuk menutupi nyeri yang terasa
disetiap rongga tubuhya.
Tumor
payudara yang menyerang istriku semakin hari semakin parah. Belum lagi kondisinya
yang sedang hamil besar. Badannya bengkak membuatnya kesusahan untuk bangun.
Menggerakkan badan saja sangat susah. Istriku seperti orang lumpuh. Ya Allah
kuatkan kami mengarungi cobaanmu.
*****
Pagi
ini aku menemani istriku USG. Hasil pemeriksaan itu dokter mengatakan bayi
didalam kandungnanya adalah bayi perempuan. Aku sangat gembira, apalagi kata
dokter hari jumat nanti kandungan istriku akan segera dioperasi karena usia
kehamilannya sudah hampir 9 bulan. Istriku harus disesar karena kondisinya
tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal.
Setelah
kembali keruangan aku duduk disamping ranjang istriku sambil memberinya minum.
Dia terlihat senang hari ini dan aku pun ikut senang melihatnya. “Nanti kalau
bunda sembuh kita jalan-jalan ya ayah”. Ucap istriku sambil tersenyum,
seolah-olah dia akan tetap baik-baik saja. Lalu aku memandangnya “iya bunda
nanti kita jalan-jalan, yang penting bunda sembuh dulu” jawabku memberi
semangat. Semoga saja ujian ini cepat berakhir. Aku tak tega melihat istriku
terlalu lama seperti itu.
*****
Hari
ini jumat 8 september 2011 istriku akan dioperasi. Sebelumnya kata dokter
kandungannya akan segera dioperasi tapi karena dia sering sesak nafas yang
diakibatkan oleh penimbunan cairan diparu-parunya sehingga dokter memustuskan
untuk melakukan penyedotan cairan terlebih dahulu karena dikhawatirkan akan
menggangu jalannya operasi.
Aku
menandatangani surat persetujuan operasi dengan harapan istriku akan tetap
baik-baik saja. Ya, dia akan tetap baik-baik saja. Ku coba yakinkan diriku. Aku
mengantarnya keruang operasi bersama ipar dan keponakanku. Ku bisikkan kata-kata
ketelinganya “bunda harus kuat, bunda akan baik-baik saja”.
“Maaf
bapak hanya bisa sampai disini” Ucap dokter sambil menutup pintu, kamipun harus
terpisah di pintu ruangan itu.
Detik,
menit, berganti jam. Aku menunggu dengan hati yang tak menentu. Ku coba
tenangkan hatiku dengan berdzikir dan berdoa untuk keselamatan istriku.
Aku
tak bisa duduk dengan tenang. Selama operasi berlangsug aku terus mondar-mandir
di depan ruang operasi. Iparku memcoba menenagkanku. “Tenanglah Dika, Dian akan
baik-baik saja. Kita sama-sama mendoakan semoga dia bisa melewatinya dengan
baik”.
*****
“Maaf,
dimana suami nyonya Dian..?” terdengar suara perawat dari arah ruang opersi itu,
aku segera menghampiri perawat itu untuk menanyakan keadaan istriku.
“saya
suaminya sus..!! Bagaimana keadaan istri saya..? Dia baik-baik saja kan sus..?”
Tanyaku penasaran pada suster.
“Operasinya
berhasil tapi istri bapak belum sadarkan diri. Kondisinya kritis sebaiknya
langsung dibawa keruang ICU pak” jawab suster.
Ku
langkahkan kaki melihat wajah istriku dari kaca-kaca pintu. Kondisinya sangat
kritis, nafasnya hanya sesekali dia hirup lalu dia hembuskan dengan bantuan
oksigen yang menempel diwajahnya. Seorang dokter muda berada disampingnya
berusaha menyadarkannya. Tapi matanya belum juga terbuka. Tiba-tiba air
mengalir dari sudut-sudut matanya. Betapa sakit yang ia rasakan bahkan dalam
keadaan tidak sadar ia menangis. Andaikan aku saja yang bebaring disitu dan
bukanlah istriku. . Aku bisa merasakan betapa sakit yang ia rasakan. Ya Allah
kasihanilah istriku. Kuatkan dia melawan penyakitnya.
“bertahanlah
bunda, berjuanglah, demi Rangga, demi anak yang ada dalam kandunganmu, demi
aku, demi kebahagiaan kita” . Hanya itu yang mampu terucap dari bibirku.
*****
Istriku
segera dibawa ke ruang ICU yang berada dilantai 1. Ruang operasi yang terletak
dilantai 4 mengharuskan kami menaiki lift. Lift turun hingga kelantai satu.
Saat lift sampai di lantai 1 tiba-tiba lampu mati, liftpun terkunci. Ruangan
itu sangat gelap tanpa setitik cahaya. Aku panik, Ya Allah pertanda apa ini..?
Suster segera menelpon petugas rumah sakit. Ku genggam tangan istriku “sabar
bunda, bertahanlah”. Keponakanku hanya bisa menerangi wajah istriku dengan
lampu handpone.
5
menit kemudian tiba-tiba lampu menyalah dan dengan spontan pintu lift terbuka.
Kami segera keluar dan dengan cepat mendorong ranjang istriku memasuki ruang
ICU. Setibanya diruang ICU beberapa perawat dan dokter langsung mengganti
oksigen, memansang perekam jantung dan memeriksa keadaan istriku. Kulihat
monitor EKG, denyut jantung istriku semakin lemah. Nafasnya tidak beraturan.
Mertuaku
datang menggendong Rangga dengan air yang sudah menggenang. Segera kuambil
Rangga. Mertuaku memengang tangan istriku, anak kesayangannya. Dia menatap
istriku seakan tak ingin melepaskan pandangannya.
Sementara
aku hanya diam mematung. Ku tatap wajah istriku dalam-dalam. Terasa detik-detik
berjalan seakan membelenggu nafasku. Mataku bergantian memandang istriku,
Rangga, dan monitor EKG. Air mata tak bisa ku tahan lagi melihat kondisi
istriku yang semakin melemah.
Tiba-tiba
garis dilayar EKG menjadi lurus, nafas istriku terhenti, tubunya kaku dengan
mata yang tidak terbuka lagi. Dihembusan nafas terakhirnya dia menteskan air
mata. Mertuaku menangis histeris.
Seketika
aku seakan kehilangan tenaga, langit seperti runtuh, kakiku tak mampu lagi
menopang tubuh ini untuk tegak berdiri. Ku temukan diriku menangis
terseduh-seduh.
Ku
pandang wajah Rangga yang menatap bundanya dan heran melihat kami menangis. Air
mata ku semakin deras memikiran Rangga akan hidup tanpa seorang ibu. Anak
sekecil itu harus kehilangan ibunya. Rangga terus memandang wajah bundanya,
mungkin dia mengira bundanya sedang tidur.
Aku
terdiam, seakan tak percaya istriku telah di panggil oleh Allah SWT. Ingin
rasanya ku ulang semua saat-saat bahagia kami menyambut anak kedua yang akan
segera hadir menjadi adik Rangga. Kini kebahagiaan itu berakhir dengan kepergiannya
tanpa sepatah katapun, bahkan operasi kelahiran anak kedua kami belum sempat
dilakukakan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya ikhlas yang membuatku bisa
menenagkan hati.
“Innalillahi Wainnailaihi rojiun”. Semua
adalah milik Allah dan hanya kepada Allah kita dikembalikan. Memang tak ada
yang tau ajal itu kapan datangnya. Itu adalah rahasia Allah. Bisa saja saat
kita tidur, berjalan, atau dalam keadaan apapun.
*****
Setelah
semua administrasi ku selesaikan, jasad istriku dimandikan dan dikafani. Kami
berangkat menuju kampung halaman. Aku ingin istriku dimakamkan disana. Agar aku
sering-sering menjenguknya.
“Istirahatlah dengan tenang bunda. Aku percaya
Allah telah menyiapkan Syurga untukmu. Wanita yang mati karena
melahirkan adalah syahid, ia akan ditarik oleh anaknya dengan tali pusarnya ke
dalam surga. Aku berjanji akan merawat Rangga dengan baik seperti bunda
merawatnya. Aku akan berusaha menenangkannya saat dia rindu dan memanggil-manggiil
bunda. Bunda tidak akan kesepiankan, karena bayi kita bersama bunda. Aku bangga
beristrikan engkau. Yang tak pernah mengeluh dan selalu menerimaku apa adanya.
Maafkan aku karena belum menjadi suami yang sempurna.”
Ku
iringi langkah istriku hingga ke peristirahatan terakhir. Ku kecup indah
senyumnya menuju singgasana. Walau kau telah tiada, kau akan tetap hidup
dihatiku selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar